Mohon lengkapi data di bawah ini sebelum melanjutkan.

budidaya tanaman
Benarkah Petani hingga Buruh Tani Untung Kenaikan Harga Gabah?
Admin
23 Maret 2024
9 kali dilihat
facebook twitter whatsapp
artikel
Benarkah Petani hingga Buruh Tani Untung Kenaikan Harga Gabah? .

Sulit dipungkiri, situasi pangan Indonesia membaik dalam skala makro, lebih-lebih setelah menghadapi El-Nino sejak 2012 dan masifnya pembangunan embung dan waduk mulai 2016. Puncaknya, Pemerintah menerima penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) karena berhasil swasembada beras periode 2019-2021. Faktanya, meningkatnya produksi gabah ditopang oleh pengorbanan besar petani kecil dan buruh atas murahnya harga gabah selama ini.

Kenaikan harga gabah belum tentu sebanding dengan kenaikan ongkos produksi. Kenaikan harga gabah Pada Februari 2024, harga gabah meningkat dari bulan ke bulan maupun tahun ke tahun. Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (1/3/2024), harga gabah kering panen (GKP) pada Februari naik sebesar 4,86 persen dari bulan ke bulan dan 27,14 persen dari tahun ke tahun, yaitu dari Rp 5.711 pada Februari 2023 menjadi Rp 7.261 pada Februari 2024.

Sementara, gabah kering giling (GKG) naik 6,13 persen dari bulan ke bulan dan naik 33,48 persen dari tahun ke tahun, atau sebesar Rp 6.436 pada Februari 2023 menjadi Rp 8.591 pada Februari 2024. Sayangnya, kenaikan ini didahului kenaikan upah dari buruh tani. Peningkatan upah buruh dapat dievaluasi dari nilai tukar petani tanaman pangan (NTPP). Nilai tukar petani merupakan perbandingan antara rata-rata harga yang diterima petani dari penjualan hasil panennya dengan rata-rata harga yang dibeli oleh petani dalam rangka konsumsi sehari-hari dikalikan dengan 100.

Harga yang dibayar petani selain barang-barang konsumsi rumah tangga termasuk biaya produksi dan penambahan barang modal seperti bibit, pupuk dan sewa tenaga, upah, penambahan barang modal. Sehingga, nilai NTP di atas 100 perlu untuk menjamin bahwa petani mendapatkan sisa yang diterima dari apa yang telah konsumsi sekaligus ongkos produksi. Sementara, tanaman pangan mengalami kenaikan NTP tertinggi dibanding subsektor lainnya.

Pada Februari 2024, nilai tukar petani tanaman pangan mencapai 120,30 persen, atau naik sebesar 3,57 persen dari bulan ke bulan. Kenaikan ini terjadi karena indeks harga yang diterima petani (It) naik sebesar 4,18 persen, lebih besar dari kenaikan indeks harga yang dibayar petani (Ib) yang mengalami kenaikan sebesar 0,59 persen. Sayangnya, peningkatan harga gabah tidak menetes ke bawah dari bulan ke bulan, karena peningkatan upah buruh tidak signifikan.

Hal ini tergambar dari nilai Indeks Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal (BPPBM) hanya berubah 0,15 persen dari 117,52 pada Januari 2024 menjadi 117,70 pada Februari 2024. Namun berbeda jika dilihat secara tahunan, peningkatan harga gabah yang justru diawali dengan peningkatan upah buruh. Terlihat dari nilai BPPBM meningkat 1,8 persen dari 115.62 pada Februari 2023 menjadi 117.70 pada Februari 2024.

Peningkatan upah buruh, memperberat proses produksi, terutama bagi petani subsisten yang menggantungkan hidupnya dari pertanian. Upah buruh meningkat sejak awal 2023 Pada Agustus 2023, upah buruh di sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan memiliki nilai terendah dibanding sektor lain, padahal di setiap kontraksi ekonomi penyerapan sektor ini selalu positif.

Hasil survei tenaga kerja nasional (Sakernas) Agustus 2023, upah buruh sektor pertanian sebesar 2,4 juta per bulan. Jauh lebih rendah dibanding sektor Informasi dan Komunikasi, Aktivitas Keuangan dan Asuransi, serta Pertambangan dan Penggalian di atas 4,5 juta per bulan. Upah buruh meningkat signifikan dari Februari hingga Agustus. Upah buruh naik 15,15 persen dari Rp 2.062.328 pada Februari 2023 menjadi Rp 2.374.788 pada Agustus 2023. Kenaikan ini jauh lebih tinggi dari kenaikan harga gabah antara Februari hingga Agustus.

Peningkatanan harga gabah kering giling (GKG) hanya 2,14 persen, dari Rp 5.711 Februari 2023 menjadi Rp 5.833 pada Agustus. Peningkatan harga gabah kering panen (GKP) hanya 5,03 persen, dari Rp 6.436 pada Februari 2023 menjadi Rp 6.760 pada Agustus. Petani penggarap mengorbankan kenaikan harga gabah dengan menanggung beban produksi yang kian bertambah. Hal ini terlihat dari nilai NTP tanaman pangan di bawah 100 dari Maret hingga September. Sebagai gambaran, buruh tani mendapatkan bayaran harian dengan nilai disesuaikan jenis rangkaian tanam.

Merujuk pada publikasi Statistik Upah Buruh Tani di Perdesaan 2022 diperoleh delapan rangkaian upah sebagai berikut: Mencangkul sebesar Rp 86.196 per hari, membajak sebesar Rp 88.293 per hari, menanam sebesar Rp 73.896 per hari, merambet sebesar Rp 74.776 per hari, memanen sebesar Rp 78.322 per hari, pemupukan sebesar Rp 78.771 per hari, penyemprotan organisme pengganggu tanaman sebesar Rp 82.166 per hari, perontokan sebesar Rp 79.770 per hari. Ketika ditotal secara bulanan, nominal upah buruh tani tetap di bawah upah minimum, apalagi menjadi buruh tani yang tidak genap 30 hari.

Kondisi ini mempertegas rendahnya daya beli jika mengandalkan hasil kerja di pertanian untuk hidup sehari-hari. Memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, bertani dan menjadi buruh tani bukan satu-satunya pekerjaan yang dimiliki. Menurut catatan BPS pada Side Hustle di Indonesia: Karena Tuntutan Ekonomi atau Aktualisasi Diri? terdapat 44 persen pekerja yang memiliki pekerjaan tambahan berasal dari sektor pertanian. Meski demikian, saat ini pertanian tanaman pangan masih menjadi tempat menggantungkan hidup bagi petani gurem dan buruh tani.

Berdasarkan data Sensus Pertanian 2023, jumlah petani gurem sebanyak 10.107.053 jiwa. Sementara, menurut publikasi Penghitungan dan Analisis Kemiskinan Makro Indonesia Tahun 2023 sebanyak 48,86 persen rumah tangga miskin dengan kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian. Nyatanya, kenaikan harga gabah tak hanya menjadi penopang hidup petani penggarap, tetapi termasuk buruh di dalamnya.

Harapannya, peningkatan harga gabah mampu mengubah wajah 12,22 persen penduduk miskin perdesaan yang sebagian besar terdiri dari petani gurem dan buruh tani. Meski realitanya, kenaikan upah dan harga gabah yang diterima harus tergilas pada inflasi kemoditas bahan pokok yang terlanjur tinggi. Akhirnya, apa yang layak kita syukuri dari ketahanan pangan dengan murahnya harga beras yang ditopang oleh pengorbanan petani gurem dan buruh akibat murahnya harga gabah selama ini?

Sumber: money.kompas.com

0 Komentar
?
TAGS
Pertanian
Padi
Bagikan:
facebook twitter whatsapp
Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya
Artikel Terkait
Lihat lebih banyak
Lentera DESA

Lentera DESA adalah platform edukasi dan pelatihan online di bidang agrokompleks (pertanian, perikanan, dan peternakan). Lentera DESA menyediakan ruang Diskusi untuk saling bertukar informasi dan menjalin relasi. Lentera DESA dikelola oleh Unit Sistem Informasi dan Media Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada


Copyright © 2021 | Lentera DESA
Beranda
Artikel dan Video
Informasi
Kontak