Foto: Bobo.id
Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki sumber daya plasma nutfah rumput laut yang besar. Dari ekspedisi Laut Siboga 1899-1900 oleh Vas Bosse, ditemukan tidak kurang dari 555 jenis rumput laut di perairan Indonesia dan 55 jenis diantaranya telah dimanfaatkan. Jenis rumput laut yang banyak dibudidayakan secara komersial di Indonesia adalah rumput laut penghasil karaginan yaitu Eucheuma dan rumput laut penghasil agar yaitu Gracilaria. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa rumput laut Eucheuma terdiri dari beberapa spesies yaitu Kappaphycus alvarezii, Kappaphycus striatum, dan Eucheuma denticulatum, sedangkan Gracilaria teridentifikasi sebagai Gracilaria changii. Berdasarkan data tahun 2015, 59% rumput laut jenis Eucheuma dihasilkan hanya oleh petani-petani di Sulawesi Selatan, NTT, dan Sulawesi Tengah. Sedangkan penghasil rumput laut jenis Gracilaria didominasi oleh provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 76% dari produksi nasional.
Rumput laut jenis Eucheuma dan Gracilaria memiliki umur tanam yang pendek dan mudah dibudidayakan dengan investasi yang relatif kecil. Diiringi dengan potensi lahan budidaya yang besar, rumput laut dapat diandalkan untuk memberikan penghasilan yang tinggi dalam waktu yang singkat. Potensi rumput laut menjadi komoditi hasil perikanan yang strategis didukung oleh peluang pasar ekspor dan dalam negeri yang cukup baik ditandai dengan permintaan akan rumput laut dan produk olahannya yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Sayangnya, melimpahnya produksi rumput laut di Indonesia tidak dibarengi dengan penanganan pascapanen dan pengolahan yang maksimal. Serapan industri terhadap rumput laut jenis Eucheuma dan Gracilaria bahkan kurang dari 1%. Berdasarkan hasil analisis, rendahnya tingkat pemanfaatan bahan baku untuk kegiatan-kegiatan pengolahan disebabkan oleh ketidaksesuaian informasi harga dan kualitas produk, ketiadaan sistem pembimbingan teknologi pascapanen yang efektif dan rasio margin yang besar pada aktivitas pengolahan dibanding aktivitas lain. Aspek-aspek tersebut menyebabkan persoalan mendasar terkait ketersediaan bahan baku industri olahan rumput laut, yaitu tetap berlangsungnya pasokan bahan baku berkualitas rendah, tidak berkembangnya industri pengolahan lokal, dan rendahnya motivasi untuk menghasilkan bahan baku berkualitas.
Adapun rumput laut memiliki potensi yang besar untuk dapat diolah menjadi berbagai macam produk olahan. Di Indonesia, rumput laut diolah dalam skala industri serta UMKM yang menghasilkan produk makanan seperti brownies rumput laut, stick, tik-tik, bubuk agar hingga kosmetik seperti sabun dan shampoo. Selain itu, rumput laut juga diolah dengan mengambil cairannya untuk dijadikan rumput laut kering berwarna putih yang biasa digunakan sebagai campuran cendol dan es rumput laut.
Proses pengolahan rumput laut tentu menghasilkan limbah yang dapat mencemari lingkungan jika tidak ditangani dengan baik. Salah satu limbah pengolahan yang memiliki potensi ekonomi cukup besar adalah limbah cairan rumput laut (sap) sebagai pupuk organik cair karena kandungan mengandung banyak hormon pemacu tumbuh yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman terutama giberelin, sitokinin, dan auksin. Eucheuma dan Gracilaria telah terbukti dapat dijadikan pupuk tanaman jagung yang ramah lingkungan serta mampu memperbaiki produktivitas dan mutu jagung. Pupuk sap yang diberikan dengan cara disemprotkan sebagai pupuk bunga telah berhasil meningkatkan biji jagung yang dihasilkan (10,5-13,1%) dan telah berhasil juga meningkatkan kandungan karbohidrat (12,3–17,4%) dan proteinnya (4,8%).
Sumber: Utomo, Bagus S.B., Purnomo, Agus H., WIbowo, S., dan Basmal, J. (2014). Potensi Pengolahan Rumput Laut: Keragaman Sumber Daya, Teknologi Pascapanen, dan Pemanfaatan Limbah. Dalam Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 713.