Dunia sedang mengalami kemarau pangan yang panjang, akibat berbagai faktor seperti perubahan iklim, konflik, dan pandemi. Indonesia pun tidak luput dari dampaknya, yang terlihat dari ancaman kelangkaan beras sebagai tumpuan pangan. Pemerintah melakukan impor beras dalam jumlah besar untuk menambah stok pangan di dalam negeri. Ironisnya, di tengah guyuran importasi beras yang sedemikian besar, harga tidak kunjung turun.
Menanggapi isu tersebut, Lailatul Muniroh SKM MKes selaku Dosen FKM Universitas Airlangga (UNAIR) angkat suara mengenai penanganan kenaikan harga beras. Baginya, penting untuk mencari akar penyebab dari krisis pangan tersebut guna menemukan solusi yang tuntas.
“Tidak cukup hanya sekedar mencari pangan alternatif, karena sebagian besar masyarakat Indonesia konsumsi utamanya adalah beras. Ibarat orang Eropa yang terbiasa menjadikan roti sebagai makanan utama, tidak bisa serta merta menggantinya menjadi makanan pokok lainnya. Demikian juga dengan impor beras, bukanlah solusi jangka panjang,” ujar Lailatul.
Ia menjelaskan bahwa impor beras yang dilakukan pemerintah tidak menyentuh akar masalah krisis pangan, karena bersifat teknis. “Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mencatat bahwa sepanjang 2023, pemerintah melakukan impor beras sebanyak 3,06 juta ton, meningkat 613,61% dibandingkan 2022. Selama Januari 2024, sudah dilakukan impor yang nilainya mencapai USD 279,2 juta. Angka tersebut melonjak sebesar 135,12% secara tahunan dibandingkan Januari 2023 yang sebesar USD 118,7 juta,” lansirnya.
Menurutnya, tingkat konsumsi beras rakyat Indonesia yang diperkirakan 35,3 juta ton per tahun, secara hitungan jumlah pasokan dari produksi dan impor sudah mencukupi kebutuhan. Hanya saja yang terjadi sebaliknya. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut tidak menyentuh akar masalah karena bersifat teknis.
“Di satu sisi, pemerintah hanya berusaha menyelesaikan simtom gejolak harga, tetapi tidak menyelesaikan penyebab kenaikan harga. Cara pandang yang hanya melihat persoalan ini di tataran teknis—bukan problem sistemis dan ideologis—menjadi penyebab masalah ini tidak kunjung teratasi,” ujar Dosen FKM UNAIR itu.
Ia menambahkan bahwa penyebab krisis pangan di antaranya adalah lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi kawasan industri, perumahan, jalan tol, dan infrastruktur lainnya. Lahan pertanian semakin menyusut menyebabkan produksi pertanian juga ikut turun.
“Kerdilnya peran negara dalam menjaga, dan menyejahterakan petani. Untuk menghasilkan produksi beras berkualitas, petani membutuhkan bibit, pupuk, pengairan, dan sarana produksi pertanian yang memadai. Semua ini membutuhkan sumber daya dan biaya yang tidak sedikit. Sayangnya, negara mengabaikan peran tersebut. Biaya produksi beras yang tinggi tidak sebanding dengan hasil penjualan gabah,” tutur Lailatul.
Pada akhirnya, banyak petani menjual sawahnya karena tidak kuat menahan kerugian ketika panen raya. Masalah ini jelas membutuhkan negara dalam memenuhi kebutuhan petani agar bergeliat kembali. Negara bisa memberi subsidi, pemberian gratis, atau pembelian alat-alat produksi pertanian dengan harga murah dan terjangkau,” imbuhnya.
Laila berharap negara dapat memberantas mafia pangan. “Saat ini pasar beras Indonesia makin menguat ke arah oligopoli akibat lebih dari 80 persennya dikuasai segelintir pengusaha, sementara pemerintah lewat Bulog kurang dari 20 persen. Hal ini menyebabkan harga beras tidak terkendali dan tidak sesuai dengan mekanisme pasar yang sehat,” katanya.
Lebih lanjut, Laila menilai negara harus melarang penimbunan, penipuan, praktek tengkulak, kartel, dan monopoli. Kebijakan pengendalian harga harus dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand bukan dengan kebijakan pematokan harga.
Solusi Atasi Krisis pangan
Solusi mengatasi krisis pangan, lanjutnya, adalah dengan mengoptimalkan kualitas produksi pangan, baik dengan melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. “Ekstensifikasi bisa dilakukan dengan menghidupkan tanah mati, yaitu tanah yang tidak subur atau tidak cocok untuk pertanian. Intensifikasi dilakukan dengan peningkatan kualitas bibit, pupuk, sarana produksi dengan teknologi terkini, seperti irigasi, pestisida, dan mesin pertanian. Dengan cara ini, produksi pangan dapat ditingkatkan secara kuantitas dan kualitas,” ujar Lailatul.
Ia juga menekankan pentingnya mekanisme pasar yang sehat, yang dapat mengendalikan harga dan ketersediaan pangan. “Negara harus melarang penimbunan, penipuan, praktek tengkulak, kartel, dan monopoli, yang dapat merugikan petani dan konsumen. Kebijakan pengendalian harga harus dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand, bukan dengan kebijakan pematokan harga, yang dapat menyebabkan distorsi pasar dan inefisiensi. Dengan mekanisme pasar yang sehat, harga dan ketersediaan pangan dapat stabil dan sesuai dengan kebutuhan,” katanya.
Laila juga mengatakan bahwa manajemen logistik yang baik adalah kunci untuk menjaga stok pangan dalam negeri. “Negara harus memasok cadangan lebih saat panen raya, agar tidak terjadi kelangkaan saat musim paceklik. Negara juga harus mendistribusikan pangan secara selektif, sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah. Negara juga harus memastikan kualitas dan keamanan pangan yang didistribusikan, agar tidak terjadi kerusakan atau kontaminasi,” jelasnya.
Terakhir, Lailatul mengajak negara dan masyarakat untuk siap siaga dalam menghadapi perubahan iklim yang ekstrim, yang dapat mempengaruhi produksi dan stok pangan dalam negeri. “Negara harus melakukan prediksi cuaca dan mitigasi kerawanan pangan, dengan melakukan kajian mendalam tentang terjadinya perubahan cuaca dan dampaknya. Hal ini didukung fasilitas dan teknologi mutakhir, seperti satelit, radar, dan sistem informasi,” ungkap Dosen FKM UNAIR itu.
“Hal ini dapat diantisipasi lebih dini untuk mengurangi dampak kemarau berkepanjangan, banjir, tanah longsor, atau bencana alam lainnya, yang dapat menghancurkan lahan pertanian dan infrastruktur. Negara juga harus memberikan bantuan dan perlindungan kepada petani dan masyarakat yang terdampak oleh perubahan iklim,” imbuh Lailatul.
Sumber: unair.ac.id