Keberadaan ikan wader (Rasbora lateristriata) saat ini dalam ancaman kepunahan. Bahkan statusnya dapat meningkat menjadi kritis jika kualitas habitat ikan wader mengalami penurunan yang drastis sehingga tidak cocok untuk berkembang biak.
Hal itu disampaikan Prof Dr Ir Djumanto, M Sc saat memaparkan pidato pengukuhan Guru Besar berjudul 'Tantangan Peningkatan Produksi dan Pelestarian Sumber Daya Ikan Asli Perairan Darat Indonesia' di Balai Senat Universitas Gadjah Mada (UGM).
Guru Besar Ilmu Manajemen Sumberdaya Perikanan Fakultas Pertanian itu menyebutkan sejumlah faktor utama yang mengancam keberadaan ikan air tawar asli perairan darat, termasuk ikan wader. Salah satunya ialah cara penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan seperti menggunakan alat setrum.
Selain itu juga faktor perilaku pemancing ikan maupun penggembar ikan yang kurang bertanggung jawab, seperti melepaskan spesies ikan tertentu yang berakibat pada penurunan populasi ikan mangsa. Lalu introduksi spesies asing yang invasif bisa menjadi kompetitor atau predator ikan asli.
Djumanto menjelaskan, gambaran perairan umum darat di DIY masih menyimpan sebanyak 47 jenis ikan yang meliputi 42 jenis ikan lokal/asli dan 5 jenis ikan introduksi yaitu ikan red devil, guppy, nila, sapu-sapu, dan ekor pedang.
Berdasarkan status keberadaannya, ikan berstatus risiko rendah sebanyak 83%, ikan berstatus belum dievaluasi sebesar 13%, sedangkan yang berstatus informasi data kurang dan rentan masing-masing 2%.
"Spesies ikan yang berstatus rentan yaitu ikan wader (Rasbora lateristriata) bisa menjadi kritis ketika kualitas habitat ikan wader mengalami penurunan yang sangat drastis, sehingga tidak cocok untuk berkembang biak. Demikian halnya ikan yang berstatus risiko rendah bisa menjadi rentan jika tingkat penangkapan dan gangguan antropogenik lainnya sangat tinggi," kata Djumanto, dikutip dari keterangan tertulis Humas UGM
Menurutnya, perlindungan dan pelestarian terhadap ikan asli dapat dilakukan dengan beberapa cara. Di antaranya dengan pemanfaatan ikan terkendali, pembuatan reservat, penebaran atau restocking, pengendalian ikan invasif, domestikasi ikan asli, dan modifikasi habitat pemijahan.
Mengenai modifikasi pemijahan, Djumanto menerangkan, sebagian besar ikan memijah bertepatan saat musim hujan ketika tersedia air yang melimpah dan kualitasnya baik. Sementara pada ikan wader pari yang mendiami Sungai Ngrancah, pemijahan terjadi pada peralihan musim hujan dan kemarau ketika suhu udara rendah dan kandungan oksigen tinggi.
Pemijahan bisa dilakukan dengan menyediakan habitat pemijahan berupa cekungan yang berukuran sekitar 2 x 1 meter persegi dan kedalaman air rata-rata 30 cm, dengan substrat dasar pasir pada sisi sungai. Cekungan itu dapat memicu ikan wader pari untuk datang dan memijah.
Semakin banyak cekungan sebagai habitat pemijahan di sepanjang sisi sungai akan dapat meningkatkan peluang ikan wader pari untuk memijah sehingga populasinya akan tinggi. Mode yang sama dapat digunakan untuk jenis ikan lain yang menjadi target untuk dikonservasi, misalnya pada ikan uceng (Nemacheilus fasciatus).
Mengakhiri pidatonya, Djumanto menekankan perlunya peningkatan keanekaragaman sumber daya ikan perairan darat melalui berbagai upaya.
Upaya menjaga keanekaragaman ikan asli dapat melibatkan kelompok masyarakat melalui edukasi, lomba atau sayembara, dan kegiatan lain yang bernuansa wisata. Pengendalian ikan invasif dapat dilakukan dengan edukasi dan mencegah tersebarnya ikan invasif di perairan umum.
Sumber: detik.com