Terdapat berbagai pendapat dalam menafsirkan istilah Social Forestry yang berkembang akhir-akhir ini. Ada yang menafsirkan sebagai paradigma, ada yang berpendapat sebagai pendekatan dan ada pula yang menafsirkan sebagai sistem/model manajemen dalam pengelolaan hutan. Menurut Westoby (1968), Social Forestry is a forestry whichs aims at producing flows of production and recreation benefits for the community, yang melihat secara umum bahwa kegiatan kehutanan yang menjamin kelancaran manfaat produksi dan kesenangan kepada masyarakat, tanpa membedakan apakah itu di lahan milik publik (negara) maupun lahan perorangan (private land). Sementara itu, Tiwari (1983) mengartikan Social Forestry has in principle the objective to meet the basic needs of the local population from the forest i.e., fuel, fodder, food, timber, income and environtment. Tiwari lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat lokal. Wiersum (1984) membedakan empat bentuk operasional daripada Social Forestry yaitu :
(1) Participatory Forestry, yang berarti sebagai kegiatan pengelolalan hutan yang dirancang dengan pengelolaan secara profesional dengan tingkat pengendalian yang tinggi terhadap kawasan (lahan) hutan,
(2) Village Forestry, yaitu pengelolaan sumber daya hutan dan pohon oleh tenaga yang tidak profesional (tidak terlatih) baik di lahan publik (negara) maupun di lahan perorangan,
(3) Communal or Community Forestry, yaitu merupakan Village Forestry yang dikelola secara bersama oleh masyarakat dan
(4) Farmers’s Forestry yaitu : salah satu bentuk daripada Village Forestry yang tanggung jawab pengelolaan oleh para petani sendiri.
Sementara itu, Kementerian Kehutanan sendiri mendefinisikan Social forestry sebagai sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara dan atau hutan hak dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan. Social forestry merupakan kebijakan pembangunan kehutanan yang ditujukan untuk mendorong terwujudnya sistem usaha kehutanan yang berdaya saing, kelola kawasan dan kelembagaan yang berbasis masyarakat setempat dengan mensinergikan berbagai potensi yang ada yaitu sumberdaya pemerintah, swasta dan masyarakat serta sumberdaya alam. Tujuan pengembangan social forestry adalah terwujudnya sistem pengelolaan hutan yang memberikan akses dan peran kepada masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan sebagai pelaku dan atau mitra utama pengelola hutan guna meningkatkan kesejahteraannya dalam rangka pengelolaan hutan lestari (Dephut, 2003).
Sumber : http://pkps.menlhk.go.id
(MP3_S)