Dampak perubahan iklim telah membuat musim tidak menentu sehingga menyulitkan petani untuk menentukan masa tanam. Pemahaman tentang agrometeorologi dapat membantu petani beradaptasi dengan perubahan iklim sekaligus menghindari terjadinya gagal panen.
Guru Besar Purnabakti Antropologi Universitas Indonesia Yunita Winarto mengemukakan, sejak dahulu petani lokal selalu belajar semua ilmu pertanian dari tradisi orang tua atau nenek moyang yang diperoleh secara turun-temurun. Dengan kata lain, pengetahuan mereka diperoleh dari pengalaman langsung melakukan praktik pertanian.
”Petani mengelola pertanian berdasarkan pengamatan pancaindera dan menanam dengan tanda-tanda alam. Namun, tidak ada yang menginformasikan kepada mereka tentang kondisi iklim yang tengah berubah saat ini,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Ketangguhan Pangan: Literasi Petani untuk Tanggapi Perubahan Iklim”, Sabtu (28/5/2022).
Meski petani memiliki dasar pertanian yang diwariskan, Yunita memandang bahwa mereka tetap perlu mendapat pemahaman tentang agrometeorologi. Sebab, selama ini petani hanya mengulang strategi tanam yang dilakukan pada masa lalu dengan kondisi musim yang sama dan tidak mengetahui kondisi iklim di masa depan.
Selain itu, peningkatan kapasitas petani yang berbasis sains juga penting karena mereka kerap memperoleh pengenalan teknologi dan perangkatnya tanpa mengetahui risiko penggunaannya bagi ekosistem tanaman. Terpenting, petani juga kurang mendapat kemampuan analisis mengenali dampak iklim pada lahan dan tanaman.
Salah satu upaya Yunita dengan dibantu pihak lainnya untuk memberikan literasi kepada petani adalah dengan membentuk warung ilmiah lapangan. Secara sederhana, kegiatan warung ilmiah lapangan merupakan kegiatan kerja sama di dunia ilmiah antara peneliti dan petani guna mencari upaya terbaik dalam menghadapi dampak perubahan iklim di bidang pertanian.
Kegiatan ini juga bertujuan agar petani bisa menjadi seperti seorang peneliti. Dengan didampingi para ilmuwan dan petugas, petani mendapat pengayaan pengetahuan, kemampuan analisis dan antisipasi, serta dilatih dalam pengambilan keputusan.
Dalam kegiatan ini, para petani juga mendapatkan jasa layanan iklim, seperti pengukuran curah hujan, pengamatan agroekosistem, evaluasi hasil panen, dan pengorganisasian kegiatan. Di samping itu, petani juga mendapat informasi skenario musiman agar mampu melakukan antisipasi sekaligus membuka alternatif solusi apabila terjadi masalah gagal panen.
”Petani perlu mendapatkan edukasi terkait pertanian berkelanjutan. Dengan begitu, mereka akhirnya bisa berdaulat dan mengantisipasi dampak perubahan iklim,” ungkapnya.
Ketua Perkumpulan Petani Tanggap Perubahan Iklim Indramayu (PPTPI) Nurkilah merasakan secara langsung manfaat mempelajari agrometeorologi dan dampak perubahan iklim. Sebelum mendapat edukasi ini, ia mengaku bahwa petani hanya melihat tanda-tanda alam yang diperoleh secara turun-temurun.
”Setelah mempelajari agrometeorologi, ternyata petani tahu bahwa iklim sudah berubah. Ada hujan tipuan yang menyebabkan gagal tanam dan kami akhirnya juga mempelajari ekosistem secara keseluruhan,” tuturnya.
Ketelibatan para peneliti juga diakui Nurkilah membuat para petani memahami berbagai macam hama, penyakit tanaman, hingga cara pembasmiannya. Dengan mengetahui hal ini, para petani bisa menolak pengusaha yang menawarkan obat pembasmi hama atau penyakit yang tidak sesuai dengan peruntukan. Sebab, selama ini petani kerap tertipu dengan kualitas obat tanaman karena tidak memahami ekosistem yang ada di persawahan.
Kearifan lokal
Advocacy Manager Climate Reality Indonesia Ari Wijanarko Adipratomo mengatakan, selama ini solusi untuk mengatasi perubahan iklim sangat berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, laporan terakhir dari Panel Antar-pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) telah memasukkan aspek kearifan lokal dalam upaya menangani perubahan iklim.
Menurut Ari, kearifan lokal dibangun dan dibentuk berdasarkan kondisi setempat. Hal ini membuat upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim akan tepat guna karena sesuai dengan permasalahan di wilayah setempat dan mudah diterima masyarakat.
Ari mencontohkan, Chile merupakan salah satu negara yang fokus menanggulangi perubahan iklim berbasis kearifan lokal dengan memberdayakan petani lokal dari masyarakat suku Inca hingga meningkatkan ketahanan pangan. Di saat yang sama, Chile juga membangun energi terbarukan dengan penggunaan yang sudah mencapai 22 persen.
”Manfaat mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dari tapak yang berbasis kearifan lokal ini harus terus digali. Apabila terbukti bisa menyerap emisi, tidak tertutup kemungkinan negara bisa mendapat manfaat moneter dari perdagangan karbon,” ucapnya.
Sumber: kompas.id