Ubi jalar merupakan salah satu makanan pokok sebagian masyarakat di Indonesia serta menjadi pilihan makanan alternatif pengganti nasi. Ubi jalar sebagai tanaman rambat rendah gula mengandung banyak nutrisi sehat yang dapat membantu melawan berbagai penyakit.
Sejumlah hasil kajian menunjukkan bahwa ubi jalar juga memiliki beragam keunggulan dari aspek kesehatan ataupun ekonomi. Dari aspek kesehatan, ubi jalar tercatat memiliki indeks glikemik (IG) yang rendah, yakni 50 sehingga cocok dikonsumsi penderita diabetes. Kemudian ubi jalar juga mengandung antosianin sebagai penangkal radikal bebas.
Kandungan lainnya dari ubi jalar, yakni kaya akan beta karoten untuk kesehatan kulit dan mata, serta kandungan potasium untuk mencegah hipertensi atau tekanan darah tinggi. Pada bagian tanaman lainnya, daun ubi jalar terutama yang berwarna ungu mampu meningkatkan trombosit darah sehingga bagus dikonsumsi para pasien demam berdarah.
Meski demikian, pengembangan komoditas ubi jalar sebagai tanaman pangan ini masih menemui sejumlah kendala. Sejumlah kendala tersebut di antaranya terkait dengan tidak diterapkannya teknologi budidaya sesuai anjuran, kondisi lahan yang terbatas, dan produktivitas rendah. Hal-hal ini membuat produksi ubi sulit memenuhi permintaan pasar.
Selain itu, faktor hama dan penyakit juga menjadi kendala utama dalam pengembangan ubi jalar. Jenis hama yang paling sering mengganggu, yakni penggerek umbi Cylas formicarius yang tidak mempunyai inang lain kecuali Convolvulaceeae. Hama ini sangat berbahaya karena dapat membuat umbi mengandung senyawa toksin pemicu kanker hati dan paru.
Sementara penyakit yang kerap menyerang ubi jalar, yakni kudis (scab) yang disebabkan Sphacelomabatatas. Hampir semua varietas rentan terhadap penyakit ini dengan gejala seperti bercak pada tangkai, daun, batang, dan pucuk tanaman. Bahkan, varietas yang terkena penyakit ini berpotensi menyebabkan kehilangan hasil panen hingga 40 persen.
Peneliti Pusat Riset Tanaman Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yusmani Prayoga, mengemukakan, selama ini penggunaan pestisida sintetik atau kimia terkadang kurang berhasil dalam mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Sebab, pestisida tersebut hanya membunuh serangga dewasa atau imago. Sementara larva yang terdapat di permukaan tanah atau pangkal batang tetap hidup sehingga tanaman masih berpotensi mengalami kerusakan.
Biopestisida cendawan entomopatogen
Salah satu produk pengendali OPT yang telah dikembangkan Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN, yakni biopestisida CEP Beauveria bassiana (Be-Bas). Produk yang telah mendapatkan paten dengan nomor IDP000053607 ini dibuat dengan bahan aktif konidia CEP Beauveria bassiana yang diformulasikan dalam bentuk tepung.
Beauveria bassiana merupakan salah satu jenis CEP yang termasuk dalam divisi Ascomycota, kelas Sordariomycetes, ordo Hypocreales dan famili Clavicipitaceae. Cendawan ini dapat membunuh seluruh stadia serangga pada berbagai jenis hama dari ordo Homoptera, Hemiptera, Coleoptera, Lepidoptera, Orthoptera, Isoptera, Diptera, dan Hymenoptera.
Yusmani menjelaskan, Beauveria bassiana merupakan cendawan tanah (soil inhabitant fungi) sehingga sangat bagus untuk mengendalikan hama yang berada di dalam tanah. Cendawan ini bersifat toksik untuk seluruh fase baik telur, larva, ataupun imago. Cendawan ini juga disebut ovisidal karena mampu membunuh stadia atau penetasan telur.
"Kemampuan ini dimiliki oleh cendawan Beauveria bassiana karena mampu memproduksi senyawa metabolit terutama toksin oosporein sehingga sangat efektif untuk mengendalikan hama Cylas formicarius. Kemampuan inilah yang tidak dimiliki pestisida kimia," tuturnya.
Sumber: kompas.id