Apakah benar tidak ada generasi milenial yang tertarik pada pertanian? Pertanyaan itu menjadi relevan karena banyak data menyatakan bahwa tidak ada generasi yang lahir pada rentang 1981-1996 alias kaum milenial yang tertarik pada sektor pertanian.
Bila pernyataan itu dianggap sebagai sebuah keprihatinan umum yang retorik dengan penggunaan gaya bahasa, maka pernyataan itu benar adanya.
Namun, bila pernyataan itu sebagai sebuah fakta, maka pernyataan itu kurang tepat, karena baru-baru ini saja 500 petani milenial baru saja menggelar jambore nasional di Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan.
Demikian pula 500 petani milenial baru saja berkumpul pada saresehan di Ragunan, Jakarta Selatan. Secara kasar saja ada 1.000 petani milenial di Indonesia.
Perhimpunan Agronomi Indonesia (Peragi) juga sudah berkali-kali melibatkan petani milenial dalam acaranya. Demikian pula beberapa organisasi petani, seperti Serikat Petani Indonesia dan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, mempunyai sayap organisasi pemuda maupun mahasiswa tani.
Berdasarkan perspektif tersebut pernyataan itu tak perlu direspons berlebihan, tetapi justru harus dibaca sebagai peluang untuk mengkaji berapa jumlah generasi milenial yang dibutuhkan untuk menopang kedaulatan pangan 270 juta rakyat Indonesia?
Berapa persen jumlah tersebut dari populasi generasi milenial saat ini yang merupakan bonus demografi bangsa? Di kabupaten atau provinsi mana saja sebaran petani milenial tersebut secara spasial?
Semua pihak dapat menilai lebih objektif berapa kekurangan generasi milenial yang dibutuhkan untuk menopang kedaulatan bangsa.
Itu agar pemerintah dapat memberikan stimulan yang tepat untuk menarik generasi milenial pada sektor pertanian. Pada konteks yang lebih spesifik, di kabupaten atau provinsi mana saja terjadi kekurangan generasi milenial, sehingga pemerintah daerah setempat dapat segera memberi stimulan.
Antusiasme Milenial
Antusiasme milenial untuk masuk dunia pertanian menjadi angin segar di tengah menurunnya proporsi orang-orang muda yang bekerja di dunia pertanian.
Menurut BPS, jumlah petani per 2019 mencapai 33,4 juta orang. Adapun dari jumlah tersebut petani muda di Indonesia yang berusia 20-39 tahun hanya 8 persen atau setara dengan 2,7 juta orang.
Menyambung data tersebut pada tahun 2021 terdapat proporsi pemuda yang bekerja di pertanian sekitar 19,18 persen, sementara di bidang jasa 55,8 persen, serta dunia manufaktur 24,89 persen.
Di luar itu semua, Indonesia sebetulnya patut bersyukur telah hadir generasi milenial yang mampu menciptakan ekosistem pertanian menjadi lebih bergairah.
Di Magelang, Jawa Tengah, ada Pulung Widi Handoko (26). Di Bandung, Jawa Barat, juga ada Dede Koswara (32) yang bertani komoditas hortikultura dari on farm hingga hilir. Keduanya juga melakukan pemasaran melalui berbagai media informasi.
Selain itu ada juga inovasi milenial Indonesia yang berhasil membuat banyak terobosan dengan membangun startup marketplace untuk produk-produk pertanian.
Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman, juga tokoh milenial yang mampu membuat program mandiri benih yang menggairahkan pertanian setempat. Demikian juga penggagas jambore petani milenial di Sumatera Selatan adalah seorang anggota dewan yang masih tergolong belia.
Ruang milenial
Alasan anak muda tidak lagi tertarik atau memilih kerja di sektor pertanian terjadi karena banyak faktor. Yogaprasta A. Nugraha dan Rina Herawati menyebutkan tiga hal. Pertama, sistem pendidikan yang menanamkan ide bahwa bertani itu bukan profesi yang menarik.
Kedua, pengabaian dari pembuat kebijakan terhadap sektor pertanian skala kecil dan infrastruktur perdesaan di banyak wilayah.
Ketiga, terbatasnya akses anak muda terhadap lahan yang disebabkan oleh kepemilikan lahan pertanian oleh segelintir orang, sehingga terjadi konsentrasi kepemilikan tanah pada generasi yang lebih tua. Dengan kata lain, petani tua belum mengalokasikan tanah untuk dikelola oleh mereka yang lebih muda.
Berdasarkan persoalan umum tersebut, terdapat empat langkah konkret yang dapat dilakukan. Pertama, memastikan lahan untuk bertani bagi generasi muda dapat diakses dengan mudah.
Hal ini akan langsung berimplikasi pada proses peningkatan teknologi pertanian. Biasanya petani milenial lebih terbuka untuk menggunakan teknologi terbaru.
Kedua, membangun ekosistem usaha pertanian yang mendorong dan menarik minat kaum muda untuk terjun secara on farm.
Pengalaman petani milenial pada komoditas hortikultura sudah mulai menggembirakan. Mereka membangun ekosistem semenjak dari lahan, pemanenan, pengolahan, pengemasan, distribusi, hingga pemasaran sampai pada konsumen akhir.
Perjuangan hulu-hilir ini berdampak positif bagi penyerapan tenaga kerja di on farm dan off farm, sehingga menyediakan pangan segar bagi konsumen. Mereka juga mampu memangkas ongkos produksi dan pemasaran dengan manajemen rantai pasok yang modern.
Ketiga, membangun ekosistem digital di perdesaan, seperti penyediaan akses internet yang terjangkau.
Petani milenial yang bergelut secara langsung di kebun dan sawah ternyata juga terbuka dengan teknologi kekinian, seperti water management, mekanisasi, dan digitalisasi alat pertanian yang sumber informasinya berasal dari dunia maya.
Terakhir, membangun ekosistem petani milenial nasional. Mereka adalah pembelajar yang cepat serta terbiasa saling berbagi informasi. Pemerintah dapat memfasilitasi dengan berbagai aktivitas pertukaran petani muda nasional, bahkan bila perlu internasional.
Untuk itu jambore petani milenial yang dilakukan di Jakarta dan Sumatera Selatan merupakan upaya cerdas dari berbagai kalangan, termasuk INAgri (institute Agroekologi Indonesia), bersama Kementerian Pertanian sebagai penggagasnya.
Indonesia harus yakin bahwa dunia pertanian pangan Indonesia akan berhasil bila kaum muda, khususnya di perdesaan, terlibat aktif secara langsung dalam mengelola pertanian hulu-hilir.
Apalagi dengan dukungan berbagai pihak terutama pemerintah sehingga menjadi katalis pencapaian ketersedian pangan yang berkualitas, beragam, bergizi, dan seimbang bagi rakyat Indonesia.
Sumber: makassar.antaranews.com